Rabu, 22 September 2010

Bagaimana kita belajar filsafat?

Anggaplah filsafat bukan barang suci yang disakralkan. Ia hanya pemikiran biasa dari orang biasa yang bisa kita gugat, dipertanyakan ulang.

“Jika orang menginginkan suatu filsaat sebagai suatu sistem prinsip-prinsip yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kebenarannya sangat pasti, maka hal itu adalah sesuatu yang mustahil” (Ubbink)

Filsafa tbukan pemikiran yang selesai, ia bahkan selalu menyisakan pertanyaan baru yang membuat kita dipaksa terlibat, yakinlah bahwa di dalam filsafat, kita –jarang atau– tidak pernah mendapatkan pemecahan-pemecahan yang tuntas atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

1. Filsafat adalah pemikiran yang mengundang kita untuk selalu terlibat langsung. Banyak sekali filsafat yang maksudnya agar kita meneruskan apa yang telah dimulainya. Dengan demikian jangan sungkan-sungkan untuk tidak sependapat, tuliskan pendapat dan sanggahan anda, ujilah kebenaran yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf itu. Alfred Ayer pernah menyarankan untuk menjadikan pemikiran seseorang sebagai bahan latihan berfilsafat. Ayer menyatakan, “…..ajukan pendapat-pendapat yang sudah tetap itu, sebaga ibahan diskusi; mencari standar-standar dan mengujinilai-nilainya; apa asumsi-asumsi itu masih berlaku.” Dengan cara ini kita terlibat, juga kehidupan nyata kita.

2. Agar bisa menguji dengan baik, kita juga jika perlu harus menunda apa yang semula kita yakini. Dengan cara ini, kita tidak berperang sendirian. Jika dalam pikiran kita masih ada keyakinan lama dan itu dijadikan ukuran, kita tak akan menemukan mutiara yang ditawarkan orang lain. Rasakan dulu tanpa prasangka, baru setelah itu dibandingkan. Serentak dalam perbandingan itu, kita telah melakukan pengujian secara tidak langsung.

3. Seorang pembelajar filsafat tidak pernah merasa benar sendiri, telah benar dan tak mungkin salah.
“Tidak ada yang kurang pantas bagi seorang filsuf selain daripada mau benar sendiri dalam diskusi dan dalam berargumentasi. Mereka benar sendiri – sampai bentuk refleksi logisnya yang paling halus—adalah pengungkapan “jiwa mempertahankan diri”, yang justru menjadi tujuan seorang filsuf untuk menghapuskannya…” (Theodor W. Adorno)

Tidak ada komentar: