Rabu, 25 Agustus 2010

Ratapan di Ladang

Saat matahari terbit, tepat sebelum sang Surya menyembul dari balik cahaya fajar, aku duduk di tengah ladang bersatu dengan alam. Di menit yang penuh dengan kemurnian dan keindahan, tatkala manusia masih berbaring terbungkus selimut-kadang bermimpi dan kadang terbangun-aku membaringkan kepala di rerumputan, bertanya pada apa yang kulihat demi menerangkan realita keindahan dan bertanya pada apa yang terlihat untuk memberi tahu keindahan realita.
Bilamana aku memiliki konsep yang berbeda dari orang lain dan mencoba mengusir ilusiku dengan membebaskan sisi spiritualku dari berbagai masalah, aku menjadi sadar bahwa jiwaku mulai berkembang dan alam telah mengajarku akan rahasia yang terdalam dan membuatku memahami berbagai bahasa penghuninya.
Sementara aku berada di atas tahtanya, angin sepoi-sepoi berhembus, menyapu dahan-dahan pohon-desah nafas seorang yatim piatu yang putus asa. Aku bertanya untuk mencari tahu, “Angin yang lembut, mengapa engkau mendesah?”
Ia pun menjawab, “Sebab saat aku pergi ke Kota, tertarik oleh kehangatan sinar Mentari, penyakit menempel di bajuku dan nafas beracun milik orang-orang melekat padaku. Itulah sebab kau melihatku bersedih.”
Lalu aku berbalik kepada bunga-bunga dan mendapati tetesan embun jatuh menjadi airmata.
Salah satu dari mereka mengankat kepalanya yang anggun dan berkata, “Kami menangis karena Manusia akan datang, memotong kami tepat di leher, membawa kami ke Kota kemudian menjual kami serupa budak walau kami adalah makhluk bebas. Bila malam tiba dan kami mulai layu, ia akan mencampakkan kami ke tanah. Bagaimana kami tiada menangis manakala tangan-tangan kejam manusia akan mengambil kami dari ladang yang merupakan rumah kami?”
Selang beberapa saat, kudengar air meratap layaknya seorang ibu yang dipisahkan dari anaknya.
“Air yang manis,” tanyaku, “mengapa engkau meratap?”
“Sebab aku pergi dengan enggan ke Kota,” jawabnya, “di mana Manusia akan mendepakku. Mereka lebih suka minum jus anggur daripada meminumku. Aku hanya dijadikan pembersih kotoran mereka saja. Bagaimana aku tidak menangis jika lama-kelamaan kemurnianku akan tercemar?”
Kemudian aku dengar burung bersenandung pujian sedih menandakan kedukaan.
“Burung nan indah, mengapa engkau berduka?” tanyaku.
Seekor burung gereja bertengger di dekatku di ujung sebuah dahan dan berkata, “Sebentar lagi anak Adam akan datang sembari membawa alat-alat kejam demi membunuh kami laksana sabit akan memotong rumput. Masing-masing dari kami telah bersiap untuk mengucapkan salam perpisahan, sebab tak satupun dari kami tahu siapa yang akan lolos atas lingkaran nasib. Bagaimana kami tiada berduka jika kematian mengikuti kemanapun kami pergi?”
Sang Surya terbit dari balik gunung, memahkotai pucuk-pucuk pohon dengan sinar keemasan. Aku bertanya kepada diriku sendiri, “Mengapa Manusia menghancurkan apa yang telah dibangun oleh alam?”

Senin, 23 Agustus 2010

Ingat Kematian

Ingatlah kematian itu
dari detik ke detik
dan dari saat ke saat

Justru itu Allah tidak janjikan kematian kita
di waktu tua

Begitu juga Allah tidak janjikan kematian kita
disebabkan sakit
tidak pun sakit pun boleh mati juga

Oleh itu jangan senang hati
kematian pasti kan berlaku
tunggulah kematian dari nafas ke nafas
agar kita tidak angan-angan melalaikan

Ingatlah sentiasa Tuhan setiap waktu
karena kematian kita tidak tahu

Ingatlah mati di dalam sebarang hal
agar kita sentiasa gentar dengan Tuhan

Oleh itu bersiap sedialah usahakan iman dan taqwa
sebagai bekalan menuju akhirat yang kekal abadi

Hidup di dunia hanya sekali
bila pergi tak akan kembali
tersilap di dunia padahnya diterima di sana.

Mengapa kita belum pun menambah amalan
sedangkan umur makin lama berkurangan
apabila sudah sampai ke sempadan akan menyesal

Oleh itu bersiap sedialah usahakan iman dan taqwa
sebagai bekalan menuju akhirat yang kekal abadi

Hidup di dunia hanya sekali
bila pergi tak akan kembali
tersilap di dunia padahnya diterima di sana

Sebungkus Mie Instan

Kamis pagi, 9 Januari 1992, kira – kira jam 05.30 WIB., lahirlah seorang anak yang lucu, gemuk, dan sehat. Setidaknya menurut bapak dan ibunya. Itulah aku. Pria bertahi lalat dua di hidung, satu di pipi sebelah kiri, dan masih banyak lagi di bagian tubuhku yang lain. Masa aku harus sebutkan semuanya?.

Namaku Aldi. Aldi al-Fajri lengkapnya. Dulu, sebelum nama belakangku diganti oleh bapakku. Nama Aldi al-Fajri mempunyai makna “anak laki – laki Akhmadi (nama bapakku) yang lahir saat terbit fajar”. Karena aku lahir ketika fajar terbit.

Tahukah kau kawan mengapa namaku diganti?. Mungkin ini sedikit konyol. Setidaknya menurutku. Itu berawal ketika aku berumur sekitar 4 tahun. Ketika itu aku dan keluarga beserta tetangga – tetanggaku pergi berlibur ke Tanjung Pasir, sebuah pantai di utara Kabupaten Tangerang. Pantai yang tidak terlalu bersih sebenarnya. Tapi bagi kami yang notabene orang kampung, di manapun tempatnya akan jadi indah jika pergi ramai – ramai dengan para kerabat dekat.

Aku pun kurang ingat dengan kejadian waktu itu. Apalagi waktu itu aku masih anak – anak yang belum tahu apa – apa. Yang aku ingat adalah ketika aku sedang bermain pasir di pantai, aku melihat bapakku sedang mengobrol dengan seorang laki – laki paruh baya yang kira – kira berumur lebih dari enam puluh tahun. Mereka terlihat sangat akrab, padahal setahu aku bapak belum kenal dengan orang itu. Tapi aku yang memang tidak peduli dengan hal – hal yang memang tidak penting bagi anak – anak seperti aku. Setidaknya ketika itu.

Beberapa hari setelah pulang dari Tanjung Pasir yang kurang bersih itu, aku di ajak ngobrol oleh mamah dan bapakku. Apakah kau merasa aneh kawan dengan sebutan pasangan orang tua antara mamah dengan bapak?. Itu tidak penting. Kembali lagi, waktu itu aku di ajak ngobrol yang sepertinya obrolan itu agak serius. Tahukah kawan apa yang bapakku bicarakan? Ia berkata bahwa namaku harus diganti. Dan tahukah kawan apa sebabnya?. Sebabnya adalah aku akan menjadi anak yang nakal pada saat beranjak dewasa jika namaku masih Aldi Al-Fajri. Itulah hasil pembicaraan antara bapakku dengan orang tua yang sebelumnya tidak dikenal oleh bapakku waktu di pantai itu. Bapak bilang bahwa si orang tua itu sudah mengenal aku sejak lahir. Aku yang waktu itu masih belum mengerti apa artinya nama hanya bisa mengikuti kemauan bapakku yang sebenarnya tidak merugikan apalagi menguntungkan bagi diriku.

Bermodalkan nasi kuning buatan mamahku, serta sebuah hadiah dari bapakku serta iringan do’a tulus dari kedua orang tuaku agar aku menjadi anak yang lebih baik dan berguna, setidaknya bagi mereka, terlebih bagi agama dan bangsa, digantilah namaku menjadi Aldi Nuary, yang sampai saat ini masih ku kenakan sebagai identitasku. Oh iya, hampir lupa aku. Mau tahukah kau kawan tahu apa hadiah yang diberikan oleh bapakku itu?. Sebungkus mie instant rasa goreng yang bermerek Mi Duo. Keren bukan?. Ayahku memberi itu dengan alasan bahwa mie goreng adalah makanan kesukaanku. That’s the unforgettable forgiveness in my life. Terima kasih bapak, mamah. Aku akan menjaga nama baik ini demi kalian, demi keluarga kita.

Bagaimana kita belajar filsafat?

Anggaplah filsafat bukan barang suci yang disakralkan. Ia hanya pemikiran biasa dari orang biasa yang bisa kita gugat, dipertanyakan ulang.

“Jika orang menginginkan suatu filsaat sebagai suatu sistem prinsip-prinsip yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kebenarannya sangat pasti, maka hal itu adalah sesuatu yang mustahil” (Ubbink)

Filsafat bukan pemikiran yang selesai, ia bahkan selalu menyisakan pertanyaan baru yang membuat kita dipaksa terlibat, yakinlah bahwa di dalam filsafat, kita –jarang atau– tidak pernah mendapatkan pemecahan-pemecahan yang tuntas atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

1. Filsafat adalah pemikiran yang mengundang kita untuk selalu terlibat langsung. Banyak sekali filsafat yang maksudnya agar kita meneruskan apa yang telah dimulainya. Dengan demikian jangan sungkan-sungkan untuk tidak sependapat, tuliskan pendapat dan sanggahan anda, ujilah kebenaran yang dikemukakan oleh filsuf-filsuf itu. Alfred Ayer pernah menyarankan untuk menjadikan pemikiran seseorang sebagai bahan latihan berfilsafat. Ayer menyatakan, “…..ajukan pendapat-pendapat yang sudah tetap itu, sebagai bahan diskusi; mencari standar-standar dan menguji nilai-nilainya; apa asumsi-asumsi itu masih berlaku.” Dengan cara ini kita terlibat, juga kehidupan nyata kita.

2. Agar bisa menguji dengan baik, kita juga jika perlu harus menunda apa yang semula kita yakini. Dengan cara ini, kita tidak berperang sendirian. Jika dalam pikiran kita masih ada keyakinan lama dan itu dijadikan ukuran, kita tak akan menemukan mutiara yang ditawarkan orang lain. Rasakan dulu tanpa prasangka, baru setelah itu dibandingkan. Serentak dalam perbandingan itu, kita telah melakukan pengujian secara tidak langsung.

3. Seorang pembelajar filsafat tidak pernah merasa benar sendiri, telah benar dan tak mungkin salah.
“Tidak ada yang kurang pantas bagi seorang filsuf selain daripada mau benar sendiri dalam diskusi dan dalam berargumentasi. Mereka benar sendiri – sampai bentuk refleksi logisnya yang paling halus—adalah pengungkapan “jiwa mempertahankan diri”, yang justru menjadi tujuan seorang filsuf untuk menghapuskannya…” (Theodor W. Adorno)

Nakhoda Kapal





Pada suatu hari terjadi perdebatan pendapat antara para tahanan. Mereka berbeda pendapat mengenai madzhab dalam ilmu fikih. Mereka masing-masing berpendapat bahwa madzhabnyalah yang paling benar dibandingkan dengan madzhab lain. Karena masing-masing mempertahankan pendapatnya, maka suasana penjara pun menjadi ramai.
"Ramai sekali suara kalian. Ada apa?" ujar bujang yang baru bangun dari tidurnya.
"Kami sedang memperdebatkan madzhab fikih," jawab Kumar.
"Hai,Bujang. Bukankah mazdhab Hanafi merupakan madzhab yang paling benar?"tanya Polong tiba-tiba.
"Madzhab Syafi'i yang paling benar,' ujar tahanan lain.
"Tenang kalian semua. Aku ingin bertanya kepada kalian!"perintah Bujang hingga para tahanan pun terdiam. "Apakah dalam madzhab kalian diperintahkan untuk menyekutukan Allah?" tanya Bujang.
"Tidak, tidak," jawab para tahanan.
"Apakah dalam madzhab kalian diperintahkan untuk mengingkari Rasulullah?"tanya Bujang lagi.
"Tidak. Tidak ada perintah itu," jawab para tahanan.
"Apakah dalam madzhab kalian diperintahkan melakukan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya?" tanya Bujang sambil membetulkan letak kopiahnya.
"Tidak, kami tidak menemukan perintah itu," jawab para tahanan lagi.
"Lalu, mengapa kalian saling menyalahkan satu sama lain. Bukankah Allah telah berfirman bahwa kebenaran berasal dari Tuhanmu. Apakah kalian sudah merasa lebih benar dari Allah sehingga menyalahkan saudara kalian?" tanya Bujang tegas.
Para tahanan terhentak mendengar pertanyaan Bujang tersebut. Mereka tidak menyangka bahwa sikap mereka yang merasa benar sendiri itu bisa berdampak lahirnya rasa sombong terhadap Allah. Padahal kebenaran itu berasal dari-Nya. Setelah terdiam sejenak, mereka dengan kesadaran sendiri saling bersalaman. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan Bujang. Tetapi, tiba-tiba saja Bujang melihat Fudul yang duduk seorang diri di pojok sel.
"Hai, Fudul. Mengapa kau tidak bergabung dengan kami?" tanya Bujang setelah berada di hadapan Fudul.
"Aku tidak sama dengan mereka, Bujang."
"Tidak sama. Apa maksudmu?" tanya Bujang heran.
"Maksudku, aku tidak menganut sebuah madzhab pun."
"Lho, mengapa kau tidak mengikuti sebuah madzhab pun? Apakah ilmu agamamu sudah melebihi para imam itu?" tanya Bujang.
"Tidak.'
"Lalu, mengapa kau tidak mengikuti mereka?"
"Aku belum mengenal keempat orang imam itu, Bujang. Kalau aku belum mengenal mereka, bagaimana aku yakin bahwa mereka dalam kebenaran?"tanya Fudul sambil menghembuskan nafasnya.
"Apa usahamu untuk mengenal mereka?"
"Tidak ada."
"Tidak ada? Bagaimana kau dapat mengetahui apakah mereka berada dalam kebenaran atau tidak jika kau sendiri tidak berusaha mengenal merekamelalui karya-karyanya?" tanya Bujang heran.
Fudul hanya terdiam. Ia menghembuskan nafasnya perlahan.
"Fudul, apakah kau pernah naik kapal layar?" tanya Bujang tiba-tiba.
"Pernah.Bahkan, aku pernah berlayar ke Malaka dan Barus."
"Apakah kau mengenal nakhoda kapalnya?"
"Tidak."
"Aneh. Kau tidak mengenal nakhoda kapal itu, tapi kau tidak meragukan kemampuannya. Bagaimana kau bisa yakin bahwa nakhoda itu akan membawamu berlayar dengan selamat?" tanya Bujang lagi dengan keheranan.
"Ini hal lain. Tidak ada hubungannya dengan masalah madzhab," ujarFudul.
"Ya, Fudul. Ulama itu bagaikan nakhoda, dan ilmunya itu bagaikan kapal. Nakhoda dan kapal adalah dua hal yang saling berkaitan. Jika kapalnya sudah memenuhi syarat untuk berlayar, niscaya nakhodanya adalah orang yang memperhatikan keselamatan penumpangnya. Tetapi, jika kapalnya banyak kekurangan, niscaya nakhoda itu kurang memperhatikan keselamatan penumpangnya," nasihat Bujang kepada Fudul yang masihterdiam.
Sejaksaat itu Bujang berusaha memberikan pengetahuan agama kepada teman-temannya. Pada awalnya peserta taklim sedikit, tapi lama-kelamaan pesertanya semakin banyak. Hal itu dikarenakan metode pengajaran Bujang yang penuh keakraban membuat mereka tidak sungkan untuk bertanya. Akibatnya, keakraban di antara para tahanan pun ikut tercipta karena mereka biasa melihat keakraban yang ditunjukkan Bujang. Sehingga suasana penjara yang dulunya selalu diwarnai dengan kekerasan kelompok yang kuat kepada kelompok yang lemah, kini tidak tampak lagi. Mereka telah disatukan oleh suatu kesadaran bahwa mereka bersaudara dalam keimanan kepada Allah Subhanallahu wa Ta'ala.

Harusnya Gini !!!

Jangan sombong, jangan pengecut, jangan penakut, jangan pamer, jangan minder, harus pede, ga boleh emosian, berfikir kritis, kreatif,inovatif, tenang, jangan males, harus rajin belajar, ibadah lebih khusyuk, ikhlash, hormat sama orang tua, menyayangi yang muda, penuh dedikasi, memihak kepada kebaikan dan kebenaran, tinggalkan yang ragu-ragu, tingkatkan keimanan, ketaqwaan, jadi setter, bukan follower,hargai waktu, jangan pesimis, harus optimis, harus bersyukur, jangan kufur, jangan pelit, inget solat, shodaqoh, dzikir, jadi contoh yang baik, bermanfaat, inget mati, bekerja keras, juga cerdas, gigih, tidak gampang menyerah, pembawa keamanan, ketentraman, kenyamanan dimana pun berada, jaga bicara, lebih banyak mendengar, jangan terburu-buru membuat kesimpulan, jangan ngomongin orang, positive thinking and feeling, jaga kesehatan, baik jasmani maupun rohani, berfikir panjang,think global act local, cinta lingkungan, konservatif, kontstruktif,tidak destruktif, kontribusif, jangan maruk, tahan hawa nafsu, jangan berlebihan, tinggalkan perbuatan makruh, apalagi haram, tingkatkan yang sunnah, apalagi yang wajib, jangan ceroboh, jangan tergesa-gesa, jangan teledor, perbanyak teman, kalo bisa yang dunia akhirat, jangan melampaui batas, perbanyak membaca, terutama tentang agama, khususnya al-Qur'an, jangan malu bertanya, walaupun sama yang muda, belajar dari segala hal, jangan ngelakuin kesalahan dan dosa yang sama, banyak istighfar, tasbih, tahmid, takbir, apalagi Laa ilaaha illallaah, hidup sehat, makan dan istirahat teratur, pikiran jangan ngelantur, jangan selalu lihat akibat, tapi lihat sebabnya, idealis, tapi agamis, boleh lah sedikit melankolis,