Senin, 23 Agustus 2010

Nakhoda Kapal





Pada suatu hari terjadi perdebatan pendapat antara para tahanan. Mereka berbeda pendapat mengenai madzhab dalam ilmu fikih. Mereka masing-masing berpendapat bahwa madzhabnyalah yang paling benar dibandingkan dengan madzhab lain. Karena masing-masing mempertahankan pendapatnya, maka suasana penjara pun menjadi ramai.
"Ramai sekali suara kalian. Ada apa?" ujar bujang yang baru bangun dari tidurnya.
"Kami sedang memperdebatkan madzhab fikih," jawab Kumar.
"Hai,Bujang. Bukankah mazdhab Hanafi merupakan madzhab yang paling benar?"tanya Polong tiba-tiba.
"Madzhab Syafi'i yang paling benar,' ujar tahanan lain.
"Tenang kalian semua. Aku ingin bertanya kepada kalian!"perintah Bujang hingga para tahanan pun terdiam. "Apakah dalam madzhab kalian diperintahkan untuk menyekutukan Allah?" tanya Bujang.
"Tidak, tidak," jawab para tahanan.
"Apakah dalam madzhab kalian diperintahkan untuk mengingkari Rasulullah?"tanya Bujang lagi.
"Tidak. Tidak ada perintah itu," jawab para tahanan.
"Apakah dalam madzhab kalian diperintahkan melakukan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya?" tanya Bujang sambil membetulkan letak kopiahnya.
"Tidak, kami tidak menemukan perintah itu," jawab para tahanan lagi.
"Lalu, mengapa kalian saling menyalahkan satu sama lain. Bukankah Allah telah berfirman bahwa kebenaran berasal dari Tuhanmu. Apakah kalian sudah merasa lebih benar dari Allah sehingga menyalahkan saudara kalian?" tanya Bujang tegas.
Para tahanan terhentak mendengar pertanyaan Bujang tersebut. Mereka tidak menyangka bahwa sikap mereka yang merasa benar sendiri itu bisa berdampak lahirnya rasa sombong terhadap Allah. Padahal kebenaran itu berasal dari-Nya. Setelah terdiam sejenak, mereka dengan kesadaran sendiri saling bersalaman. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan Bujang. Tetapi, tiba-tiba saja Bujang melihat Fudul yang duduk seorang diri di pojok sel.
"Hai, Fudul. Mengapa kau tidak bergabung dengan kami?" tanya Bujang setelah berada di hadapan Fudul.
"Aku tidak sama dengan mereka, Bujang."
"Tidak sama. Apa maksudmu?" tanya Bujang heran.
"Maksudku, aku tidak menganut sebuah madzhab pun."
"Lho, mengapa kau tidak mengikuti sebuah madzhab pun? Apakah ilmu agamamu sudah melebihi para imam itu?" tanya Bujang.
"Tidak.'
"Lalu, mengapa kau tidak mengikuti mereka?"
"Aku belum mengenal keempat orang imam itu, Bujang. Kalau aku belum mengenal mereka, bagaimana aku yakin bahwa mereka dalam kebenaran?"tanya Fudul sambil menghembuskan nafasnya.
"Apa usahamu untuk mengenal mereka?"
"Tidak ada."
"Tidak ada? Bagaimana kau dapat mengetahui apakah mereka berada dalam kebenaran atau tidak jika kau sendiri tidak berusaha mengenal merekamelalui karya-karyanya?" tanya Bujang heran.
Fudul hanya terdiam. Ia menghembuskan nafasnya perlahan.
"Fudul, apakah kau pernah naik kapal layar?" tanya Bujang tiba-tiba.
"Pernah.Bahkan, aku pernah berlayar ke Malaka dan Barus."
"Apakah kau mengenal nakhoda kapalnya?"
"Tidak."
"Aneh. Kau tidak mengenal nakhoda kapal itu, tapi kau tidak meragukan kemampuannya. Bagaimana kau bisa yakin bahwa nakhoda itu akan membawamu berlayar dengan selamat?" tanya Bujang lagi dengan keheranan.
"Ini hal lain. Tidak ada hubungannya dengan masalah madzhab," ujarFudul.
"Ya, Fudul. Ulama itu bagaikan nakhoda, dan ilmunya itu bagaikan kapal. Nakhoda dan kapal adalah dua hal yang saling berkaitan. Jika kapalnya sudah memenuhi syarat untuk berlayar, niscaya nakhodanya adalah orang yang memperhatikan keselamatan penumpangnya. Tetapi, jika kapalnya banyak kekurangan, niscaya nakhoda itu kurang memperhatikan keselamatan penumpangnya," nasihat Bujang kepada Fudul yang masihterdiam.
Sejaksaat itu Bujang berusaha memberikan pengetahuan agama kepada teman-temannya. Pada awalnya peserta taklim sedikit, tapi lama-kelamaan pesertanya semakin banyak. Hal itu dikarenakan metode pengajaran Bujang yang penuh keakraban membuat mereka tidak sungkan untuk bertanya. Akibatnya, keakraban di antara para tahanan pun ikut tercipta karena mereka biasa melihat keakraban yang ditunjukkan Bujang. Sehingga suasana penjara yang dulunya selalu diwarnai dengan kekerasan kelompok yang kuat kepada kelompok yang lemah, kini tidak tampak lagi. Mereka telah disatukan oleh suatu kesadaran bahwa mereka bersaudara dalam keimanan kepada Allah Subhanallahu wa Ta'ala.

1 komentar:

indriderf mengatakan...

asik repost hehehe